LIFTING BIKIN SKK MIGAS PRO ASING
Selama Lifting jadi Key Performace Indikator (KPI) SKK Migas, maka asing akan memiliki kesempatan lebih besar untuk mengelola migas Indonesia ketimbang perusahaa nasional, karena dari sisi keuangan, teknologi dan pengalaman asing lebih unggul ketimbang perusahaan nasional seperti Pertamina.
Demikian ungkap ekonom Rimawan Pradiptya dalam Seminar Nasional Migas untuk Kemandirian energi di Gedung DPR hari ini (27/2). Ia juga menjelaskan bahwa dasar munculnya lifting sebagai KPI SKK Migas berasal dari asumsi dalam makro ekonomi saat menentukan postur dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Sebelumnya ekonom migas Darmawan Prasodjo yang juga jadi salah satu pembicara dalam seminar itu menyatakan hal yang sama, menurutnya apa yang dilakukan oleh SKK Migas adalah amanah negara yang harus diembannya. Sehingga yang keliru adalah tata kelola migas itu sendiri, yang seharusnya bisa menyeimbangkan penerimaan negara untuk APBN dan sekaligus memperkuat industri migas dalam negeri sebagai bentuk implementasi pasal 33 UUD 45.
Darmawan yang akrab disapa Darmo pun tegas menyatakan, tertinggalnya Pertamina dari perusahaan migas negara lain seperti Petronas karena sistem tata kelola migas yang keliru, dimana sebagian besar pendapatan Pertamina diserap oleh APBN, padahal Pertamina sebagai sebuah lembaga bisnis memerlukan belanja modal untuk meningkatkan kemampuannya.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR Puan Maharani menyatakan kondisi Pengelolaan migas Indonesia terutama sejak dibubarkannya BP Migas tengah mengalami darurat konstitusi.
Tanpa keberadaan payung hukum migas, pihaknya akan mendorong DPR untuk segera mengesahkan UU Migas yang kini masih dalam revisi. Ia juga meyakini tata kelola migas yang baik akan mampu menopang pembangunan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
“Ini menjadi tugas anggota DPR dari PDI Perjuangan untuk sesegera mungkin merevisi UU Migas. Sudah seharusnya kita membuat UU Migas “Merah Putih” yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. UU ini nantinya diharapkan bisa mengimple-mentasikan Pasal 33 UUUD 1945″, kata Puan.
Ia juga berharap pembahasan RUU Migas akan selesai pada 2013, dan fraksinya mengusulkan pemerintah harus mendahulukan BUMN dalam pengelolaan migas, BUMN bukan dalam posisi sapi perah, tapi memerikan bimbingan dan pengawasan terhadap BUMN.
“Ini salah satu pasal dalam RUU, BUMN bukan pengemis di negeri ini, jadi harus memperoleh prioritas wilayah kerja usaha,” ungkapnya. Dengan begitu, Monopoli yang di-lakukan oleh Pertamina dalam pengelolaan migas di negeri ini justeru sejalan dengan undang-undang pungkasnya.