Ada Nadi Yang Berdetak Saat Tiba Di Kota Anging Mamiri
Kali ini ada yang berbeda dari perjalanan sebelumnya. Dimana wisata yang dikunjungi merupakan beberapa tempat-tempat sejarah yang mungkin belum pernah terdengar. Lihatlah, Jalan-jalan Bro!!!
Makassar merupakan kota yang memiliki banyak tempat menarik, pulau-pulau eksotis, pantai yang indah, kesenian yang atraktif, hiburan, dan kuliner khas. Saat pertama menginjakkan kaki di Makassar terutama saat berada di bandara Sulatan Hasanuddin akan ada nadi yang berdetak menyaksikan indahnya bandara internasional kota Anging Mamiri. Desain bandara yang menyerupai deretan gunung kembar memperlengkap keindahan kota Anging Mamiri. Saat berada di Makassar yang terlintas dipikiran yakni pesona Pantai Losari saat senja dan masjid terapung disebelahnya yang merupakan ikon kota Makassar. Tidak hanya itu saja, Pantai Losari juga terkenal dengan sebutan ‘Meja terpanjang di Asia bahkan Dunia’ karena banyaknya restoran, warung, cafe, pedagang kaki lima di pesisir Pantai Losari.
Setelah menyusuri Pantai Losari dari Anjungan ke arah utara dan melewati Hotel Makassar Golden. Selanjutnya kami mengunjungi pelabuhan paling tua di Makassar. Hiruk pikuk sudah terasa, saat kami mengunjungi pelabuhan yang merupakan salah satu pelabuhan rakyat warisan tempo doeloe, yang menjadi saksi bisu peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo sejak abad ke-14, sewaktu memberangkatkan sekitar 200 armada Perahu Phinisi ke Malaka untuk membantu Raja Malaka mengusir penjajah Belanda. Inilah salah satu dari sekian banyak destinasi di Makassar yang membuat beberapa nadi berdetak dan menjelaskan “Kalau Makassar memang nenek moyangnya pelaut”. Salah satu tempat yang menjadi destinasi andalan kota Anging Mamiri yang sering dikunjungi turis manca negara, dimana ratusan kapal phinisi yang berjajar dipesisir pantai dekat pelabuhan Paotere menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung dan juga merupakan pusat perdagangan ikan terbesar di Indonesia dulunya.
Jalan-jalan bro kali ini lebih banyak mengunjungi kawasan wisata bersejarah yang ada di Makassar. Setelah pelabuhan Paotere kami bergegas menuju ke Museum Korban 40.000 jiwa yang menjadi lembaran kelam bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Dimana sebanyak 40.000 orang dibantai dalam sebuah operasi penumpasan pemberontak oleh penjajah pada tahun 1946-1947 yang letaknya di Jl. Langgau sekitar 4 kilo meter dari pusat kota Anging Mamiri. Relief pada monumen itu mengingatkan betapa rakyat, yang hanya mendengar kabar bahwa Indonesia telah merdeka, dikumpulkan di tanah terbuka. Lalu diberondong dengan senapan otomatis dan mayat mereka dikubur di satu liang. Di salah satu sisi bangunan, ada sebuah patung dengan tinggi sekitar empat meter. Menggambarkan seorang korban selamat tetapi dengan kaki buntung dan salah satu lengannya menggunakan penyangga. Obyek wisata sejarah ini mudah dikunju-ngi, karena letaknya yang tidak jauh dari pusat kota cukup dengan menggunakan angkutan umum, taksi, atau kendaraan hotel dimana kita menginap.
Jalan-jalan bro!!! Hari terakhir, 1 Juli 2013 sebelum kembali ke Bumi Bersujud, kami menyempatkan mengunjungi salah satu obyek wisata andalan Makassar yang berada di Kabupaten Maros yakni Bantimurung yang letaknya kurang lebih sekitar 50 km dari pusat kota Makassar. Obyek wisata ini sangat mudahdikunjungi, cukup dengan menggunakan mobil dan motor, dari pusat kota sekitar 1 jam. Jika pengunjung berangkat dari Bandara Hasanuddin, perjalanan dapat ditempuh dengan mobil atau bus wisata sekitar 45 menit.
“Banting saja kemurunganmu di Bantimurung”, seloroh kawan saya, saat kami bercakap mengenai obyek wisata ini. Menurutnya, “Inilah destinasi wisata yang paling menarik dimana kita bisa berdiri di kaki air terjun dan diguyur air dari ketinggian 30 meter serta menelusuri goa mimpi yang dipenuhi beragam species kupu-kupu dan stalaknit”. Air terjun yang terletak di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ini merupakan objek wisata favorit masyarakat Sulawesi Selatan. Nama Bantimurung sendiri berasal dari dua kata dari bahasa setempat yaitu “benti” yang berarti “air” dan “merrung” yang berarti “gemuruh”, karena suara yang dihasilkan dari air terjun ini bergemuruh. Sehingga seiring perkembangan jaman nama “Bentimerrung” lama-kelamaan berganti lafal menjadi Bantimurung.
Wahhh, ini kesempatan langka, dimana kami bisa memanjakan mata dengan melihat langsung museum serta penangkaran kupu-kupu dan patung monyet raksasa yang menjadi ikon obyek wisata ini. Yang paling menarik dari tempat ini, sekitar 150 spesies kupu-kupu yang tergolong langka berada disini. Selain itu, kita juga dapat membeli beranekaragam kupu-kupu yang sudah diawetkan bahkan para pengunjung dapat menyaksikan indahnya warna-warni kupu-kupu dengan berbagai spesies yang berterbangan ke sana ke mari. Inilah yang membuat tempat ini dinamakan “The Kingdom of Butterfly”, karena di Taman Nasional Bantimurung merupakan habitat dari berbagai spesies kupu-kupu yang langka dan hampir punah.